Banyak orang yang ingin sekali kerja di Jakarta. Alasan utamanya ialah ingin memperbaiki nasib. Jakarta dianggap sebagai kota yang bisa mewujudkan mimpi dan ternyata itu dibenarkan Dimas.
Ya, Dimas adalah perantau asal Surabaya yang berhasil dapat kerja di Jakarta. Menurut penjelasannya pada sebagai, sebetulnya gaji di Jakarta dan Surabaya tidak terlalu beda, hanya selisih Rp 200 ribu, tapi ada hal lain yang tidak dia dapatkan di Surabaya.
“Di sana kalau menurut aku nggak berkembang. Ya, isunya gitu-gitu saja, nggak nasional. Jadi, buat berkembang sepertinya sulit. Terlebih, kalau menurut aku, nyari teman sefrekuensinya susah,” kata pria berusia 26 tahun tersebut.
Pada sebagai juga Dimas menjelaskan dengan cukup detail bagaimana dia bisa bekerja di ibu kota. Pengalaman dia ini tentunya bisa menjadi referensi Anda yang baru akan bekerja di ibu kota. Penasaran?
Dimas menjelaskan kalau dirinya bisa bekerja di Jakarta karena tawaran kantornya di Surabaya. Bekerja di Jakarta ternyata sudah menjadi mimpi Dimas saat mengenyam bangku kuliah. Bahkan, dia juga pengin sekali kuliah di Jakarta, tepatnya di Universitas Indonesia.
“Hidup di Jakarta adalah impian aku dari SMA. Pengin banget kuliah di Universitas Indonesia. Cuma, Tuhan punya cara lain. Aku bisa menginjakan kaki baru saat bekerja. Jadi, ada tawaran kerja di kantor Jakarta, singkat cerita ternyata pihak kantor milih aku. Dari situ, aku mikir kerja di Jakarta bakal bisa dapetin gaji besar,” ungkapnya santai saat diwawancarai sebagai di kawasan Ubud, Bali, Jumat malam (14/6/2019).
Pandangan lain mengenai kerja di Jakarta pun muncul. Selain bergaji besar, di Jakarta juga setiap orang bisa menemukan segala hal. Kebetulan dalam hal ini Dimas fokus ke kemudahan transportasi. Jadi, kemana-mana gampang, ada KRL atau Transjakarta.Bahkan, Dimas menjelaskan kalau dirinya mau bisa jalan kaki ke mana saja di Jakarta dan itu sepertinya bisa dilakukan. “Kalau Surabaya, hal kayak gini susah,” sambungnya.
Nah, dalam kesempatan ini juga Dimas coba menjelaskan bagaimana respon dia pertama kali menginjakan kaki di ibu kota, menghirup udara Jakarta, dan bertemu dengan macetnya kota tersebut.
Hal pertama yang jadi fokusnya adalah harga makan dinilai sangat mahal. “Sempat nggak mau makan warteg sembarangan, karena pas puasa, pernah makan sahur harganya Rp 25 ribu, padahal itu makan nasi, ayam, tempe orek, sayur sop, dan minum es teh manis. Padahal, kalau di Surabaya makan begini paling abis Rp 15 ribu,” keluhnya lantas tertawa.
Lalu, meski banyak menghadapi masalah, apakah Dimas betah?
Dia menjawab, betah. Ya, kalau dipersentase-in, sekitar 75 persen untuk betah dan 25 persen mau kembali ke Surabaya. Angka tersebut untuk harga yang mahal, ngekos yang tidak murah, makan mesti berhemat, bahkan kalau belanja keperluan sendiri seperti kurang enak. Sementara orangtua Dimas di rumah tinggal sendirian.
Kemudian, kalau begitu apa pengin balik ke kampung halaman saja?
“Balik untuk tinggal di kampung lagi, mungkin butuh 10 tahun lagi gitu. Target materi harus ngumpul, karena malu juga gitu loh balik ke kampung tapi masih dengan kondisi seperti sekarang ini. Setiap pulang, harus bawa uang berlebih,” tambahnya.
Nah, di kesempatan ini juga Dimas coba memberikan sedikit tips atau pandangan untuk mereka para ‘newbie’ perantau di Jakarta.
Menurut Dimas, saran pertama yang mesti diperhatikan ialah jangan terpengaruh sama gaya hidup anak Jakarta, terlebih jika Anda berasal dari basic perekonomian keluarga middle to low. Bakal capek sendiri!
Kemudian, sebisa mungkin untuk jadi diri sendiri. “Nggak usah neko-neko. Jakarta malah lebih asyik kalau kamu jadi diri sendiri,” katanya. Jangan lupa untuk juga tetap jadi karakter yang memang sudah terbentuk di kampung halaman. Jangan tiba-tiba berubah seperti anak “kota”.
“Tetap harus hati-hati juga dengan orang baru, siapa pun itu. Dan satu hal lain yang tidak kalah penting ialah bisa membedakan mana yang “need” mana yang “wants”,” tegasnya.