Pengungsi Iraq di Jerman.
Hidayatullah.com—Sebuah studi mendapati bahwa meskipun banyak pengungsi mendapatkan pekerjaan di Jerman, tetapi kebanyakan bersifat sementara. Para peneliti mengatakan selain keterampilan individu, birokrasi ikut menghambat pengungsi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pengungsi mungkin berhasil mendapatkan pekerjaan di Jerman, tetapi mereka cenderung mengisi lowongan kerja paruh waktu bergaji rendah, dan bukannya benar-benar berintegrasi ke dalam pasar kerja di Jerman. Demikian menurut hasil studi yang dilakukan oleh wadah pemikir Berlin Institute yang dirilis hari Selasa (18/6/2019), seperti dilansir DW.
Institut itu mendapati bahwa sekitar 95.000 pengungsi –kebanyakan berasal dari Afghanistan, Eritrea, Iran, Iraq, Nigeria, Pakistan, Somalia dan Suriah– mendapat pekerjaan sebagai Februari 2018 dan Januari 2019. Sepertiga dari mereka memperoleh pekerjaan cukup layak –dengan fasilitas asuransi– sedangkan sisanya bekerja di sektor jasa atau sebagai pekerja paruh waktu.
Secara umum hanya seperenam dari pengungsi bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) tanpa keterampilan, tetapi hampir setengah pengungsi yang bekerja di Jerman menjalani pekerjaan itu.
Peneliti mengatakan bahwa meskipun hambatan personal –seperti kurangnya keterampilan berbahasa Jerman– membatasi kesempatan pengungsi untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi birokrasi juga ikut andil mempersulit mereka.
Kebanyakan responden yang diwawancarai berusia sebagai 18 dan 24 tahun, dengan demikian berhak untuk memperoleh pelatihan kerja. Akan tetapi, untuk bisa mendapatkan pelatihan kerja diperlukan waktu yang cukup lama dan pengungsi harus melewati sejumlah tahap. Setiap kandidat, kata peneliti, harus mengikuti terlebih dahulu kursus intensif bahasa Jerman sedikitnya 2 tahun sebelum bisa mendaftar untuk memperloleh pelatihan kerja selama 2-3 tahun.
Kebanyakan pengungsi tidak hanya harus memenuhi kebutuhan hariannya tetapi juga menunjang hidup keluarga dan membayar utang kepada penyelundup manusia yang membawa mereka sampai ke Eropa. Oleh karena itu, pengungsi biasanya langsung mengambil kesempatan kerja apa saja yang lewat di depan mata.
Frederick Sixtus dari Berlin Institute mengatakan Jerman harus mengakui kualifikasi yang dimiliki oleh sebagian pengungsi yang didapatnya di negara asal mereka. Namun, masalahnya kebanyakan pengungsi yang memiliki keterampilan kerja tidak memiliki sertifikat keahlian. Sertifikat keahlian mereka bukan hilang, tetapi negara asalnya memang tidak mengeluarkan sertifikat keahlian. Padahal, bukti kualifikasi formal umum diminta oleh perusahaan-perusahaan Jerman.
Peneliti mempertanyakan kebijakan pemerintah yang memberikan kursus bahasa Jerman hanya kepada para pengungsi yang berpeluang mendapatkan izin menetap di negara itu.
Reiner Klingholz dari Berlin Institute menyeru agar parlemen mengubah peraturan perundangannya, sehingga semua pengungsi berpeluang mendapatkan kursus bahasa. Pasalnya, pemberian keterampilan bahasa kepada pengungsi berusia muda akan memberikan kontribusi besar pada partisipasi mereka dalam pasar kerja secara keseluruhan.
Isu-isu di atas hanya sebagian contoh dari segunung hambatan akibat regulasi dan birokrasi yang berlika-liku yang menghambat pengungsi mendapatkan pekerjaan layak di Jerman, negara terkuat perekonomiannya di Eropa.*